Sejarah Adiksi Ganja


Apakah benar bahwa ganja membuat Anda adiksi? Pertanyaan ini muncul untuk mencari akar dari kontroversi mengenai adiksi ganja. Walaupun sudah menjadi hukum alam bahwa adanya kebaikan karena adanya keburukan, kita perlu menjawab perntanyaan mengapa ada pihak yang pro dan kontra terhadap adiksi ganja. Tujuannya jelas untuk mencari solusi dalam dualisme pro dan kontra adiksi ganja.
Perlu dipahami oleh kita sebagai bangsa Indonesia bahwa konsep adiksi ganja memiliki karakter yang berbeda di setiap tempat dan budaya. Bromberg (1937) menyatakan bahwa potensi adiksi ganja memiliki karakteristik yang berbeda pada negara Asia, Amerika, dan Eropa. Oleh karena itu diperlukan pemahaman yang menyeluruh dari segala jenis sudut pandang untuk membicarakan adiksi ganja. Sebagaimana diketahui bahwa konsep adiksi ganja telah terbentuk secara kompleks, maka tugas kita sebagai manusia untuk membuka lebar mata hati kita guna mencari keharmonisan dalam memandang konsep adiksi ganja. Berbaurlah para ahli pendidikan, hukum, filsafat, ilmu sosial, ilmu alam, ilmu gaib, dan lainnya untuk mencapai hal itu. Dengan ini proses mencari keharmonisan mudah-mudahan tercapai. 
Pemahaman yang kita miliki sekarang mengenai adiksi ganja dipengaruhi oleh banyak aspek, seperti mitos, biografi artis, penelitian, opini para ahli, media cetak, film-film, deskripsi dari istilah adiksi itu sendiri, klasifikasi narkotika, patokan diagnosis, dan perundangan. Selain itu, faktor budaya dan politik juga mempegaruhi konsep adiksi ganja. Namun, pengaruh paling besar adalah dari penguasa dimana mereka sebagai ujung tombak pembuat sistem hukum, pendidikan, dan program-program rehabilitasi. Walaupun informasi yang ada di dunia ini seluas samudra, tetap saja pembentukan persepsi masyarakat tergantung pada kompilasi informasi yang ingin ditampilkan oleh penguasa.
Mencari akar dari konsep adiksi ganja merupakan langkah yang tepat dalam memahami fenomena yang terjadi dewasa ini. Pertanyaan-pertanyaan seperti; bagaimana ganja bisa masuk golongan narkotika? Apakah ganja merupakan zat adiktif? Mengapa ganja begitu menakutkan bagi kehidupan manusia? akan terjawab setelah kita mencoba menelusuri jalan panjang sejarah pembentukan konsep adiksi ganja. Berikut adalah konsep adiksi ganja yang sudah tersebar di masyarakat:
  1. Adiksi zat narkotika yang menyebabkan kegilaan dan tindak kekerasan,
  2. Penyakit otak yang terjadi akibat perubahan neurotransmiter, 
  3. Konstruk sosial dari adanya konflik budaya

Pengaruh Mitos, Legenda, dan Cerita Rakyat
Masyarakat Arabia memiliki cerita tersendiri mengenai ganja sebagai alat untuk pembunuhan politik dan mendapatkan visi spiritual. Akhir abad 13, Marco Polo menulis tentang Penguasa Persia yang kejam (the Old Man from the Mountains) dimana pengikutnya berkomitmen terhadap pembunuhan bermotif religius. Sejarahwan menuliskan bahwa para pengikut merupakan manusia yang menggunakan hashish (resin ganja) demi meningkatkan keberanian mereka dan mereka tidak pernah puas akan hal ini. Merekalah yang dikenal dengan nama hashshashin; akar kata dariassasin. Tugas mereka adalah membunuh musuh politik dengan imbalan surga duniawi. Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah ada bukti yang mengindikasikan bahwa fanatisme dan kekerasan merupakan produk perilaku dari penggunaan hashish (Mandel, 1966). Seiring bergulirnya waktu, Booth (2003) mengungkapkan bahwa hashish akhirnya dipahami sebagai zat yang dapat menimbulkan kegaduhan, memojokan suatu kaum, dan bahkan membuat manusia yang saleh menjadi pembunuh yang kejam. Mitos ini diabadikan sejak masa itu hingga masa modern ini.
Bertolak belakang dengan hal tersebut, Sufi (petapa dari dunia islam yang memiliki prinsip berbeda dengan islam ortodoks) menganjurkan pencarian spiritual melalui hashish. Akibatnya, mereka lebih tertarik untuk mencari pengalaman mistis dibandingkan memainkan perannya sebagai umat islam dalam lingkungan sosial. Kritik tajam bagi mereka menyatakan bahwa pengunaan hashish menimbulkan adiksi fisik, dan kemudian menumbuhkan kecenderungan untuk mencari “sumber” baru (Rosenthal, 1971).
Di Afrika, adiksi dagga (ganja) digambarkan sebagai cara untuk membuat manusia lokal tetap menjadi tahanan sekaligus meningkatkan kemampuannya. Manusia kulit putih sengaja membuat penduduk lokal untuk adiksi ganja sejak dini. Semua itu bertujuan untuk membuat penduduk lokal sulit menolak bujukan agar tetap menjadi pelayan manusia kulit putih (Thompson, 1967). Di lain tempat pada pertengahan 1800-an, pendekar Zulu diceritakan sebagai manusia yang dapat menaklukan rintangan berat dengan bantuan ganja. Bangsa ini digambarkan sebagai bangsa yang adiksi terhadap ganja (Bryant, 1970).

Tulisan dan Memoar para Tokoh Masyarakat
Pada pertengahan tahun 1800-an, terdapat sebuah perkumpulan yang terdiri dari para penulis maupun artis yang bernama The Hashish Eater Club. Perkumpulan yang berdomisili di Paris ini melakukan pertemuan bulanan guna bereksperimen dengan memakan ramuan hashish sambil merenungi efek imaginatif yang dihasilkannya. Anggota-anggotanya antara lain Fernand Boissard de Boisdenier, Theophile Gautier, Gerard de Nerval, Charles Boudilaire, Victor Hugo, Honore de Balzac, dan Honore-Victorin Daumier. Tulisan-tulisan mereka mengenai hashish mendapatkan perhatian serius dari publik. Di sini, mereka memberikan gambaran yang jelas mengenai efek hashish pada perubahan bentuk kesadaran dan menekan bahwa manusia harus berada dalam kondisi psikologis yang positif saat menggunakan hashish.
Di tempat yang berbeda, Fitz Hugh Ludlow juga mempubilkasikan autobiografinya yang berjudul Hasheesh Eater : Being Passages from The Life of a Pythagorean. Ia menghabiskan waktu mudanya dalam keadaan terintoksifikasi ganja dan mengalami adiksi psikologis terhadapnya. Pengalamannya terintoksifikasi ganja membuatnya pernah merasakan halusinasi dan berjanji tidak akan menggunakannya lagi. Ia menyimpulkan bahwa masyarakat seharusnya tidak bisa menghakimi mereka yang mencari kesadaran diri melalui hashish. Kemudian, ia harus berjuang untuk berhenti, sampai ia memakai laudanum dan alkohol yang ternyata tidak berhasil. Adiksi tersebut hilang setelah ia mendapatkan bantuan dari dokter (Ludlow, 1857).

The 1893-1894 Indian Hemp Drugs Commission
Komisi ini didirikan pada tahun 1839 oleh Sekertariat Inggris di India. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi konsekuensi dari penggunaan ganja terutama pada aspek moral dan kehidupan sosial masyarakat India. Selain itu komisi ini juga menanggapi aspirasi-aspirasi dari pihak pro dan kontra ganja. Berbeda dengan sekarang, ganja masih legal pada saat ini. Isu yang berkembang pada zaman ini adalah ganja dinilai telah menurunkan efesiensi pekerja lokal India padahal pekerjaan mereka masih bersifat manual. Dari hasil penyelidikan komisi tersebut, parlemen kemudian menyebutkan bahwa ganja lebih berbahaya daripada opium.

Ribuan manusia memberikan testimoni pada parlemen terkait hal ini. Salah satu kesimpulannya bahwa dalam memahami efek ganja harus memperhatikan frekuensi pemakaian dan kualitas atau campuran yang ada pada ganja. Ternyata pada masa ini ramuan ganja sering kali dicampur dengan zat lain seperti; opium, datura, dan hyoscyamis. Oleh karena itu, sangatlah sulit untuk menemukan efek dari ganja itu sendiri.
Komisi juga menemukan bahwa pemakaian rekreasional, medis, dan religius ganja semakin hari semakin menjamur walaupun tidak menimbulkan perilaku kriminal, penggunaan moderat tidak menyebabkan penyakit mental ataupun perilaku tidak bermoral, dan pelarangan akan mempengaruhi ibadah suatu religi serta menimbulkan kerusuhan penduduk. Namun, komisi memiliki kecenderungan pandangan bahwa penggunaan moderat akan dilanjutkan dengan penggunaan yang berlebihan sehingga beresiko menciptakan degradasi moral dan ketidakstabilan mental. Pada saat itu, laporan dari Indian Hemp Drug Commission (1969)merupakan laporan paling komprehensif mengenai ganja yang pernah dipublikasikan.

Pada tahun-tahun selanjutnya, perhatian utama akan masalah ini beralih menjadi pencegahan penggunaan obat-obatan melalui peraturan internasional yang melarang penanaman dan perdagangan ganja karena potensi alami adiktifnya. Perwakilan dari Mesir dan Turki mengatakan bahwa di negaranya bermunculan pengguna kronik hashish (Booth, 2003). Mugggeridge (1972) menambahkan bahwa banyak dari mahasiswanya di Universitas Kairo yang menjadi adiksi hashish.
 
The 1925 Panama Canal Zone Report
April 1925, tertarik akan potensi buruk dari ganja pada tentara Amerika yang berada di Terusan Panama membuat komisi penyelidikan mencari tahu kebenarannya. Data didapat dari studi literatur, konsultasi ahli, testimoni para tentara, dan observasi pada beberapa tentara, empat dokter, dan dua polisi ketika mereka menggunakan ganja dalam keadaan terkontrol. Komisi menyimpulkan bahwa ganja bukanlah suatu bentuk kebiasaan ataupun suatu resiko dalam aspek kesehatan dan perilaku.

The 1929 Preliminary Report on Indian Hemp and Peyote issued by US Sergeon General Hugh S. Cummings
Pada akhir 1920-an, beberapa anggota kongres menunjukan kekhawatirannya akan isu bahwa ganja telah diperdagangkan ke anak sekolah. Selain itu, RUU tahun 1929 juga menetapkan dibentuknya 2 ladang narkotik Indian Hemp untuk pengobatan bagi individu yang mengalami adiksi (ketergantungan fisik) atau mengalami kebiasaan menggunakan (ketergantungan psikologis).Di dalam undang-undang inilah pertama kalinya ganja diidentifikasikan sebagai narkotik.

Categories: Share